KEMBALI AKU MENGABDI
Oleh: Najmudin Aljuhri
Antara
diterima dan tidak dengan kalimat terbata-bata, aku sampaikan niat baik dan
tulusku untuk kembali mengabdi. Dengan senang hati, Alhamdulillah ucap Pak
Kyai.
Pun aku senang bahwa ternyata hati Pak Kyai tidak sejauh yang aku bayangkan. Apakah kebencian dan kemarahan akan selamanya ternyata tidak. Itu dimaknai sebagai “ memberikan pelajaran dan warning dari sang Bapak kepada anaknya. Kemarahan dan kebencian adalah obat dan rasa kasih sayang yang tidak akan pernah terlupakan.
Pun aku senang bahwa ternyata hati Pak Kyai tidak sejauh yang aku bayangkan. Apakah kebencian dan kemarahan akan selamanya ternyata tidak. Itu dimaknai sebagai “ memberikan pelajaran dan warning dari sang Bapak kepada anaknya. Kemarahan dan kebencian adalah obat dan rasa kasih sayang yang tidak akan pernah terlupakan.
Seperti
biasa aku mulai beraktivitas. Pengajaran dan Pendidikan aku tanamkan kepada
anak-anak. Se-pengetahuan dan se-pengalaman serta kemampuan – selama 5 tahun
lamanya aku berikan kepada anak-anak walaupun belum secara utuh. Lima tahun
lamanya materi yang telah disampaikan oleh Asatidz nyaris lupa. Setelah
kupahami, sebuah keheranan membayangiku. Dengan sendirinya, dengan singkat
dipelajari, terpahami. Yang dulu ketika menjadi siswa bisa dikata belum faham sama
sekali tapi di saat hendak mengajar materi sedikit banyak terkuasai.
Namun
di tengah perjalanan pengabdian – lagi lagi peristiwa mengecewakan kembali
terulang. Yang saat itu bermaksud mengejar sunah Rasul – kandas ditelan
sejarah. Hanya karena Hawa, aku terima selembar surat dari Pak Kyai untuk tidak
mengabdi. Ya..bagaimanapun aku tetap salah. Cukup kesedihan ini disave dalam
file hati. Rasanya tidak mesti aku ceritakan rasa sedih kepada siapapun. Namun
yang aku sedihkan kenapa cita-citaku ingin memperbaiki sejarah, tidak pernah
terjawab. Mengecewakan, mengecewakan dan mengecewakan seakan tidak pernah
terhenti. Pak Kyai, maafkan anakmu ini…! Dari sekian jumlah anak anakmu yang
ada – mungkin aku adalah anak yang paling bandel, nakal dan pembangkang. Tapi
sebenarnya tidak ada niatan sedikitpun untuk melakukan itu. Terus apa? Entah
aku tidak tahu.
Kembali
aku pergi ke sebuah kota seakan tanpa dapat ridho dari sang guru. Diridhoi
ataupun tidak, harus gimana lagi. Karena ini sudah terjadi. Penyesalan tidak harus
disesalkan sekalipun menyesal. Aku tidak ingin berlarut dalam penyesalan. Tapi
merasa berdosa itu sudah pasti.
Madani
Home Care, tempat rehabilitasi adalah tempat aku bersinggah pasca peristiwa
itu. Jakarta bukan kejam tapi kenapa aku tidak bisa membunuh kejamnya Jakarta.
Kebutuhan sehari-hari di kota Jakarta tidak cukup dari hasil pekerjaanku
sebagai counseling. Justru yang ada hanyalah sisa sisa yang harus dibayar.
Hanya bertahan tiga bulan aku harus pergi ke tempat yang berbeda sekalipun
belum ada pilihan tempat yang dituju.
Telepon
berdering dan aku angkat. Naj, ditunggu di Cipanas, di pondok Alfarhan, ucap
Kanda Unro. Meluncur ke ujung utara yang
sebelumnya tidak pernah aku injakan kaki di sana. Bersilaturrahmi menjadi awal
pencarian penenangan bathin kembali.
Cipanas, 19 Juli 2015
0 komentar:
Post a Comment