BERCERITA
DENGAN GELISAH
Oleh:
Najmudin Aljuhri
Sebulan
pra wisuda kegelisahan mulai menghampiri. Hadir menyapa dan bertanya hendak
kemana setelah engkau habiskan waktu 6 tahun lamanya. Entah kemana..jawabku
dalam hati.
Gundah dan bingung seakan perahu tanpa nahkoda tapi tetap harus pergi berjalan walau selangkah. Dialektika kegelisahan terus saja menemani kendati tidak bersahabat – sampai pada hari perpisahan.
Gundah dan bingung seakan perahu tanpa nahkoda tapi tetap harus pergi berjalan walau selangkah. Dialektika kegelisahan terus saja menemani kendati tidak bersahabat – sampai pada hari perpisahan.
Anak-anakku…!
Harimu tidak akan kembali. Tataplah masa depanmu. Hendak kemana kamu pergi..Aku
gurumu akan menyertai setiap langkahmu. Hari esok harus lebih baik dari hari
ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.
Anak-anakku…!
Perjalananmu masih panjang. Pergilah…maka kamu akan menemukan sesuatu yang
baru..yang bisa saja saat ini tidak kamu dapatkan tapi di tempat yang baru
itulah kamu akan dapatkan. Ini artinya bisa saja dapat dikata bahwa ilmu yang
didapat saat ini belum seberapa ketimbang jika pergi untuk menjemput ilmu
kembali.
Anak-anakku…!
Di manapun kamu berdiam diri di situ kamu harus mengabdi. Di bumi mana saja
kamu berpijak di situ pula kamu junjung tinggi nilai-nilai Islam. Di manapun
kamu berdiam di situ kamu mesti berkarya. Kepintaran, kecerdasan, dan segudang
ilmu yang kamu miliki seakan tanpa makna kalau kamu tidak manfaatkan. Di pondok
ini penting untuk menjadi manusia pintar dan cerdas tapi tidak kalah penting
menciptakan regenerasi yang berakhlaqul karimah.
Itulah
kira-kira yang terekam di memori ingatan di saat perpisahan itu. Isak tangis
mendera kami. Yang semuanya mungkin penuh dengan kegalauan dan kegelisahan. Karena
dengan kemampuan yang dimiliki rasanya belum bisa diberikan kepada siapapun.
Tapi direview kembali bahwa hidup itu harus tetap maju. “ Hidup itu bagaikan
perang”, Bayangkan..apa yang akan kita lakukan jika dihadapan kita lautan dan
di belakang kita adalah jurang..pilih maju atau mundur. Berarti hidup itu pilihan.
Mundur berarti hidup itu “BANCI” maka maju adalah “BERANI”. Kita hendak mampu
merubah sebuah realitas jangan sebuah realitas yang merubah kita. Karena jika
realitas yang merubah kita maka hidup berarti di dalam kepasrahan.
Belum
terhenti dalam kegelisahan sekertas surat datang dari sebuah pondokku tercinta
dan aku baca. Sebuah pilihan untuk MENGABDI atau TIDAK. Maka aku jawab “YA”.
Sebuah amanah dari pimpinan untuk aku emban yang padahal sebelumnya tidak
terpikir sedikitpun karena disadari betul bahwa selama di pondok aku tidak bisa
memberikan yang terbaik – yang ada justru seakan merusak diri dan citra pondok.
Dapat dikata bahwa hendak kepergianku dari pondok adalah suul khotimah bukan
husnul khotimah dari hasil bimbingan dan analisa pondok. Maka di situ pula aku
bertekad kuat selain mengabdi maka aku ingin merubah diri lebih baik.
Cipanas, 19 Juli 2015
0 komentar:
Post a Comment