Sunday, July 19, 2015

BERCERITA DENGAN GELISAH


BERCERITA DENGAN GELISAH
Oleh: Najmudin Aljuhri


Sebulan pra wisuda kegelisahan mulai menghampiri. Hadir menyapa dan bertanya hendak kemana setelah engkau habiskan waktu 6 tahun lamanya. Entah kemana..jawabku dalam hati.
Gundah dan bingung seakan perahu tanpa nahkoda tapi tetap harus pergi berjalan walau selangkah. Dialektika kegelisahan terus saja menemani kendati tidak bersahabat – sampai pada hari perpisahan.
Anak-anakku…! Harimu tidak akan kembali. Tataplah masa depanmu. Hendak kemana kamu pergi..Aku gurumu akan menyertai setiap langkahmu. Hari esok harus lebih baik dari hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.
Anak-anakku…! Perjalananmu masih panjang. Pergilah…maka kamu akan menemukan sesuatu yang baru..yang bisa saja saat ini tidak kamu dapatkan tapi di tempat yang baru itulah kamu akan dapatkan. Ini artinya bisa saja dapat dikata bahwa ilmu yang didapat saat ini belum seberapa ketimbang jika pergi untuk menjemput ilmu kembali.
Anak-anakku…! Di manapun kamu berdiam diri di situ kamu harus mengabdi. Di bumi mana saja kamu berpijak di situ pula kamu junjung tinggi nilai-nilai Islam. Di manapun kamu berdiam di situ kamu mesti berkarya. Kepintaran, kecerdasan, dan segudang ilmu yang kamu miliki seakan tanpa makna kalau kamu tidak manfaatkan. Di pondok ini penting untuk menjadi manusia pintar dan cerdas tapi tidak kalah penting menciptakan regenerasi yang berakhlaqul karimah.
Itulah kira-kira yang terekam di memori ingatan di saat perpisahan itu. Isak tangis mendera kami. Yang semuanya mungkin penuh dengan kegalauan dan kegelisahan. Karena dengan kemampuan yang dimiliki rasanya belum bisa diberikan kepada siapapun. Tapi direview kembali bahwa hidup itu harus tetap maju. “ Hidup itu bagaikan perang”, Bayangkan..apa yang akan kita lakukan jika dihadapan kita lautan dan di belakang kita adalah jurang..pilih maju atau mundur. Berarti hidup itu pilihan. Mundur berarti hidup itu “BANCI” maka maju adalah “BERANI”. Kita hendak mampu merubah sebuah realitas jangan sebuah realitas yang merubah kita. Karena jika realitas yang merubah kita maka hidup berarti di dalam kepasrahan.
Belum terhenti dalam kegelisahan sekertas surat datang dari sebuah pondokku tercinta dan aku baca. Sebuah pilihan untuk MENGABDI atau TIDAK. Maka aku jawab “YA”. Sebuah amanah dari pimpinan untuk aku emban yang padahal sebelumnya tidak terpikir sedikitpun karena disadari betul bahwa selama di pondok aku tidak bisa memberikan yang terbaik – yang ada justru seakan merusak diri dan citra pondok. Dapat dikata bahwa hendak kepergianku dari pondok adalah suul khotimah bukan husnul khotimah dari hasil bimbingan dan analisa pondok. Maka di situ pula aku bertekad kuat selain mengabdi maka aku ingin merubah diri lebih baik.

Cipanas, 19 Juli 2015




0 komentar:

Post a Comment