Monday, August 3, 2015

MENCARI ESENSIALISME UJIAN NASIONAL

MENCARI ESENSIALISME UJIAN NASIONAL
Oleh: Najmudin, SS.


Long Life Education. Inilah yang melatarbelakangi penulis  ingin berbicara tentang pendidikan karena diyakini pasti bahwa pendidikan tidak akan pernah berhenti untuk dibicarakan selama matahari belum terbit dari Barat.
Dan dari sini pula memandang ke depan bahwa Ujian Nasional pasti akan datang dengan sistem yang berubah tapi bukan untuk dilupakan bahwa kesadaran kebangkitan belajar adalah sebuah kemestian. 
Kita sebut saja namanya Nurlela, siswi SLTA. Dalam nilai harian sangat membuat gurunya bangga. Bagaimana tidak, semua mata pelajaran di rapornya memperoleh nilai sembilan. Dalam menghitung angka begitu paling cepat. Menjawab pertanyaan seorang guru selalu bisa. Menghapal tidak perlu memerlukan waktu sangat lama. Bahkan dalam senipun sangat menakjubkan. Gitar, biola, tari, bernyanyi dan lain-lain begitu tidak ingin cepat selesai bagi yang melihat dan mendengar. Berbeda halnya dengan siswa  yang bernama Ardi, sekelas dengan Nurlela. Mata Pelajaran nilai rapornya mencapai enam sampai  tujuh. Menghitung angka sangat lambat. Kadang lebih sering tidak bisa menjawab  pertanyaan guru. Menghapal membutuhkan waktu yang cukup lama untuk masuk pada memorinya. Pun musik, tidak ada satupun alat yang bisa dimainkan. Tapi segi pertemanan dia mempunyai aura tersendiri. Hampir tiap hari teman-temannya datang baik ketika di, maupun luar sekolah. Tentu bukan pelajaran yang didiskusikan malahan justru curahan hati. Keluh kesah hati dan persoalan -persoalan privasi orang, ia mampu menyelesaikannya. Mampu membuat orang ceria. Orang yang datang ke Ardi atau kedatangannya tidak membosankan.
Ilustrasi di atas mendiskripsikan bahwa daya penerimaan pesan hasil penglihatan, pendengaran, pengalaman atau neokortek seseorang sangat berbeda, sebagaimana yang dicontohkan antara Nurlela dan Ardi. Tapi tidak lantas karena menonjol dalam dunia akademiknya disebut pintar sehingga bangga bagi guru dan orang tuanya, pula disebut sebaliknya karena nilai-nilai akademiknya tidak maksimal. Atau inilah hebatnya teori Binet bahwa kecerdasan seseorang dapat diukur dengan angka kendati kesuksesan seseorang belum tentu bisa diukur dengan angka menurut teori Daniel Goleman – seorang yang mempopulerkan teori Kecerdasan Emosional. Tentu dengan landasan rasional ternyata menurutnya, banyak orang yang cerdas tapi gagal. Orang yang berpendidikan tinggi seringkali terkalahkan oleh pendidikannya yang lebih rendah.
Sekadar Harapan
Selain Cerdas Intelektual, Emosional dan Spiritual maka Garner pun tidak luput memberikan sumbangsih pemikiran. Profesor Pendidikan dan Psikologi Harvard ini mengatakan manusia sebenarnya memiliki sembilan kecerdasan yang berbeda peran dan sebagai salahsatu penunjang kesuksesan seseorang dalam hidpupnya. Kecerdasan itu adalah  linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Linguistik, bagaimana mampu menggunakan tata dan struktur bahasa dengan baik, penggunaan bahasa dengan efektiv – termasuk mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan tertentu. Matematis-Logis, mampu menghitung ilmu eksak. Spasial, mampu membayangkan, mempresentasikan ide-ide. Kinestetik, mampu mengorganisir seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan seperti pantomim, penari, atlet dan lain-lain. Musical, mampu memainkan alat-alat musik. Interprsonal, mampu membedakan suara hati, motivasi, perasaan orang lain dari ekspresi wajah, suara, dan gerak isyarat. Intrapersonal, mampu memahami diri sendiri, termasuk kelemahan dan kekuatan dirinya sendiri yang dibaca oleh dirinya. Naturalis, Peka terhadap fenomena alam dan dari sini pula ia dapat belajar. Eksistensial, Peka  untuk menjawab persoalan-persoalan eksistensi manusia.
Tentu sebuah idealisme yang tinggi bagi pendidik terhadap peserta didiknya untuk memiliki kesemuanya – dari intelektual sampai pada eksistensial. Sungguh sulit bukan? Ya ini adalah sekadar harapan karena bagaimanapun neokortek siswa sangat berbeda. Maka sarana dan prasarana mesti ada untuk mewadahi dari masing-masing kemampuan anak yang berbeda. Dengan tujuan apa yang menjadi cita-cita dapat tersalurkan. Tapi penulis mengharapkan – sekalipun tidak semua dimilki maka spiritual (Agama) sebuah keharusan.
Esensi Ujian Nasional
Thomas Alfa Edisson, tidak pernah sekolah formal, saat dewasa mampu menemukan bola lampu. Albert Einstein, dianggap bodoh oleh guru dan teman-temannya di waktu kecil tapi dianggap paling cerdas sedunia karena merumuskan teori relativitasnya. August Comte, yang tidak dibesarkan di dunia akademik tapi dianggap sebagai Bapak Hukum Positivisme yang berawal gigih ingin menjadikan sosiologi sebagai ilmu pasti yang disebut sebagai Fisika Sosial.
Terlalu jauh untuk menggambarkan tokoh di atas, mungkin. Tapi sebagai inspirator patut kita teladani. Ujian Nasional yang akan digelar 25-28 April 2011 – sekalipun sudah diberlakukannya Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 tentang penentuan kelulusan yang tertera dalam pasal 2, yakni penggabungan nilai-nilai, bukan berarti mereduksi etos kerja profesionalisme dan proporsionalisme para pendidik.  Esensialisme Ujian Nasional adalah bagaimana mampu melahirkan generasi yang kreatif dan inovatif di masa depan. Karena kelulusan di sekolah bukan sebuah kebanggaan akhir namun hakekat kelulusan adalah bagaimana seseorang mampu menghadapi realitas hidup. Bukan menihilkan, dikatakan lulus adalah ketika seseorang mampu melewati Ujian Hidup bukan Ujian Nasional.  
Petuah Untuk Siswa
Di lain sisi tidak sepenuhnya kesuksesan untuk melewati Ujian Hidup dengan bekal ilmu  ditumpahkan dan tanggung jawab para pendidik. Pada sisi lain pula siswa dituntut untuk menerima apa yang menjadi petuah jika memang ingin mendapatkan ilmu bukan saja manfaat dan barokah tapi akan lebih baik jika ilmu mumpuniditambah manfaat dan barokah. Saudaraku! Kamu tidak akan pernah mendapatkan Ilmu kecuali dengan enam perkara. Pertama, Pintar (Dzakaaun). Kedua, Tamak (Hirshun). Ketiga, Sungguh-sungguh (Ijtihadun). Keempat, Harta (Dirhaamun). Kelima, bergaul dengan guru dalam arti cinta terhadap guru (Shuhbatul Ustaadz). Keenam, Waktu yang lama (Thuula Zamaan). Ingat kata “TIDAK AKAN PERNAH” dalam bahasa arabnya” LAN”.Dan Alquran (Al-Baqoroh: Ayat 120) menjelaskan Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani TIDAK AKAN PERNAH RIDHO terhadap Nabi Muhammad sebelum mengikuti agamanya. Maka bukti nyata sampai saat ini mereka terus membuat front dengan Umat Muslim sekalipun harus dengan gaya baru. Semoga dengan petuah-petuah ini siswa lulus dalam Ujian Nasional dan juga lulus dalam Ujian Hidup. Amien....!!!
Penulis, Najmudin, SS.
Ketua PK KNPI Cipanas dan Kepala Sekolah SMPS DELTA CIPANAS, Taleus, LEBAK.

0 komentar:

Post a Comment