Monday, August 3, 2015

KETIKA SISWA SUDAH BERDEMONSTRASI

KETIKA SISWA SUDAH BERDEMONSTRASI
(Sebuah  Kado Untuk Dunia Pendidikan)
Oleh: Najmudin, SS.

Secangkir teh atau segelas kopi dan sebatang rokok ditambah pisang goreng yang masih hangat. Pun Koran Baraya Post tidak lupa menemani.Menyuguhkan berita segala bidang; Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya, Pendidikan dan lain-lain. Kemudian pergi keluar rumah untuk mencari sesuap nasi demi anak dan istri.
Beginilah bentuk rutinitas kesehariandan begitu indah dan bahagia rasanya walaupun belum sejahtera.    
Sedikit miris dan tersentuh, berita mungkin akan dianggap angin berlalu ketika peristiwa itu jauh dari mata memandang. Tapi bagaimana dengan peristiwa demontrasi yang dilakukan para peserta didik di SMKN I Cipanas, Rabu, 09 Maret 2011. Karena lokasi yang tidak begitu terlalu jauh seakan ini terjadi di hadapan dan sekaligus mengingatkan untukberdialog sendiri - bagaimana kalau ini terjadi pada penulis karena memang sedikit banyak bersentuhan dengan dunia pendidikan. Akhirnya Secangkir teh dan Kopi serta pisang hangat hampir lupa entah seperti apa rasanya karena berpikir ada apa dengan Dunia Pendidikan?
Wajar dan lumrah,  kita mesti menyikapinya dengan arif dan bijak walau semestinya ini tidak perlu terjadi, tegas Abdul Waseh selaku Ketua PGRI Kecamatan Cipanas (Baraya Post, Kamis, 10 Maret 2011). Maka dalam tulisan kali ini tidak bermaksud mengkambing-hitamkan seseorang. Tapi mesti kita mengevaluasi dunia pendidikan saat ini. Alih-alih demonstrasi dianggap sebagaibentuk klimak ketidakpuasan dan kebuntuan karena tidak ditemukannya makna dan arti sebuah dialog.
Di Balik Aksi
Tak Mungkin Ada Asap Kalau Tak Ada Api. Hukum kausalitas ini nyaris persis yang terjadi di Cipanas. Sebegitu hebat, para siswa seolah tahu secara detail tentang keuangan. Mestikah semua siswa wajib mengetahui atau Lembaga Pendidikan mewajibkan agar semua siswa tahu secara detail tentang keuangan semuanya. Keterbukaan dan laporan ke instansi terkait sangatlah harus dan peran orang tua siswa mesti diperlukan.
Tidak beresnya manajemen terkait keuangan yang dilakukan Kepala Sekolah misalnya, ini patut kita sikapi. Tapi tidak etis pula kalau siswa yang beraksi alias demonstrasi.  Seakan tidak ada jalan keluar karena akutnya persoalan, seperti inikah? BOMM, BKM, DOP, DSP dan BOSDA, khawatir sebagai dalih prinsipil yang sesungguhnya hanya ingin menggantikan sosok tertentu, dalam hal ini kepala sekolah. Adalah siswa sebagai alat. Di balik aksi, adakah aktor intelektual?. Mudah-mudahan, tidak. Ada ataupun tidak, yang jelas berbuntut pada terancamnya Posisi Jabatan Kepala Sekolah, setelah pemanggilan oleh Bupati Lebak.
Rethinkink Untuk Kepala Sekolah
Fenomena di atas,  Lembaga mesti berperan ekstra untuk membangun kondusifitas – terutama Kepala Sekolah. Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional memang sangat sulit. Tapi Berusaha dan berupaya adalah sebuah kemestian untuk dilakukan. Andai Lembaga Pendidikan mampu mengejawantahkan Visi menjadi Aksi, maka ini salahsatu pendidikan yang semestinya. Dr. E. Mulyasa, M.Pd. memberikan konstribusi pemikiran tentang Kepala Sekolah dalam dunia pendidikan (Baca: Menjadi Kepala Sekolah Profesional) bahwa Kepala Sekolah harus mampu menjadi Edukator, Manajer, Administrator, dan Supervisor.  Yang berikutnya karena perkembangan zaman, di samping itu harus berperan sebagai Leader, Innovator dan Motivator.  
Sebagai Edukator, mesti mampu menciptakan suasana yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan dan lain-lain. Agar ini tercapai maka langkah-langkah yang dilakukan adalah; Pembinaan Mental, Moral, Fisik dan Artistik.
Sebagai Manajer, memberdayakan tenaga kependidikan (Dewan Guru) secara kooperatif, memberi kesempatan kepada Guru untuk meningkatkan Profesinya, melibatkan semuanya dalam berbagai hal kegiatan. Dan semuanya ini bisa dilandaskan pada asas tujuan, asas keunggulan, asas mufakat, asas kesatuan, asas persatuan, asas empirisisme, asas keakraban, dan asas integritas.
Sebagai Administrator, mampu mengelola kurikulum, administrasi peserta didik, administrasi personalia, administrasi sarana dan prasarana, administrasi kearsipan, dan administrasi keuangan.
Sebagai Supervisor, harus mampu melakukan berbagai pengawasan dan di sini pengendalian sangat dibutuhkan oleh sosok seorang Kepala Sekolah. Starrat dalam teorinya mengatakan “Supervision is a process designed to help teacher and supervisor leam more about their practice; to better able to use their knowledge and skill to better serve parents and schools and to make the school a more affetive learning community. Di sini nampak jelas keterlibatan orang tua dan sekolah yang di dalamnya Dewan Guru merupakan sebuah keharusan.
Sebagai Leader, pemimpin harus mampu memberikan petunjuk dan pengawasan, meningkatkan kemauan tenaga kependidikan, membuka komunikasi dua arah, mendelegasikan tugas. Kalau Wahjosumijo berkata karena Kepala Sekolah sebagai Leader maka harus memiliki karakter keperibadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan profesional, serta pengetahuan administrasi dan pengawasan.
Begitu selanjutnya bahwa Kepala Sekolah adalah sebagai Innovator-bagaimana menciptakan suasana sekolah tidak stagnan, terutama dalam program-program sekolah. Melahirkan sesuatu yang baru  dengan tujuan agar tidak membuat lembaga pendidikan menjadi yang membosankan. Serta sebagai Motivator, mampu membuat para guru dan peserta didik atau yang terlibat di dalamnya ketika beraktivitas selalu bergairah. Atau “Sugesti” dalam bahasa Psikologinya dan ini mampu memberikan ruh-ruh baru, alias semangat baru. Contoh konkret, Orang sakit dikasih obat oleh dokter kemudian, menurut teori adalah bukan karena obatnya dia sembuh tapi karena sugesti pribadinya yang ingin sembuh itu menjadi sembuh.
Solusi - solusi
Peristiwa aksi Siswa yang terjadi di SMKN I Cipanas, mungkin bukan yang pertama di lakukan di seanterio Indonesia tapi bukan pula yang terakhir karena bisa jadi akan muncul kembali dengan landasan filosofis bahwa kebijakan yang ditelorkan oleh Kepala Sekolah atau juga oleh Dewan Guru tidak bisa dimengerti oleh peserta didik. Atau logika terbalik karena berangkat dari seorang siswa yang mengakibatkan Lembaga Pendidikan tidak Kondusif.
Maka penulis sampaikan bahwa tulisan ini sekalipun tidak seorsinil para ahli praktisi pendidikan atau pengelola pendidikan sudah mengetahui secara utuh tapi setidk-tidaknya mengingatkan kembali bahwa pelaku kependidikan meskiberupaya sehingga mampu menciptakan suasana yang kondusif. Tentu dengan cara mengimplementasikan fungsi-fungsi sebagai pemimpin di sekolah sebagaimana telah disebutkan di atas. Sesuatu yang mungkin, aksi para peserta didik disebabkan karena salahsatu, banyak, atau semua  fungsi sebagai Kepala Sekolah tidak dijalankan karena memang ini akan berimbas pada potret pendidikan. 
Bila terjadi efek domino maka bukan saja Lembaga Pendidikan itu sendiri yang tereduksi akan reputasi karena aksi siswa tapi juga Lembaga Pendidikan keseluruhan akan dipertanyakan. Yang padahal seakut apapun saya kira masih bisa diselesaikan dengan cara dialog dan musyawarah. Apa kata Dunia? Pribahasa mengatakan‘Likulli Daain Dawaaun”, setiap penyakit ada obatnya. Musyawarah dan dialog adalah solusi sebagai obat terbaik. Di dalamnya akan mengedepankan diskusi kausalitas mengapa ini terjadi sekaligus senantiasa bisa ditemukan jawabannya.  Semoga peristiwa ini menjadikan hikmah bagi Lembaga Pendidikan untuk maju terus menuju lebih baik. Karena kritikan pada dasarnya adalah sebagai obat untuk membangun. Amien.....!
Penulis; Najmudin, SS.
Ketua PK KNPI Cipanas, Tenaga Pengajar di Ponpes DELTA

0 komentar:

Post a Comment