Monday, July 13, 2015

PESANTREN, SEKOLAHKU

PESANTREN, SEKOLAHKU
Oleh: Najmudin Aljuhri

Pasca enam Tahun mengenyam pendidikan di Tingkat Dasar nampaknya kedewasaan mulai berpikir. Hendak kemana Nak…engkau lanjutkan belajarmu? Dan apa cita-citamu?
Tanya seorang Guru kepadaku menjelang detik-detik perpisahan. Aku mau mesantren dan Guru adalah cita-citaku, sahut aku. Do’a kami selalu menyertaimu, ucap sang Guru. Aamin…jawabku.
Bersama kawan dan diiringi do’a sang guru dan orang tua – berangkat berjalan kaki walau harus menempuh 15 Kilometer menuju tempat yang dituju. Sebuah pesantren salafy murni dalam niat yang dituju waktu itu. Namun ternyata cerita berbeda. Perasaan aneh selalu menemani di awal menimba ilmu.
Tempat tidak begitu meyakinkan. Belajar di bawah pohon – pun gubug tempat keseharian kami belajar. Berbeda dengan orang-orang di luar sana. yang mana tempat begitu indah nan mewah; Kursi, meja dan fasilitas lain serba sempurna. Haruskah aku bertahan di sini – di tempat yang dalam suasana yang seolah-olah tidak meyakinkan!? Dalam benakku, bertanya. Nampaknya pertanyaan itu terawab seiring dengan berjalan waktu.
Nyanyian doktrinisasi bukan sekedar dilantunkan dalam acara seremonial belaka. Pondokku ternyata tempat aku bernaung. Semenjak kecil sampai dewasa – engkau telah berjasa. Jasamu tidak bisa terucap dengan kata. Disiplin shalat berjama’ah – Tiap pagi dan petang kami beramai shalat jama’ah, dituntun oleh pimpinan. Sungguh membuat damainya bathin. Ternyat Kedisiplinan salahsatu cara membentuk karakter seseorang. Sekiranya wajar jika dikutip sebuah pribahasa “ Kebenaran Tanpa Disiplin Akan Terkalahkan Oleh Kebathilan Yang Disiplin”.
Sebuah pondok yang ber-sistem-kan dan ber-metode-kan modern ternyata mempunyai pengaruh tersendiri. Dianggap galak seorang pemimpin – sering menjadi lelucon di para santrinya waktu itu “ Mudiirun Kal Asadi”, Pemimpin bagaikan Singa. Nampaknya pribahasa ini  dianggap Kafilah berlalu oleh sang Pimpinan. Tapi ternyata hasilnya adalah mampu menjadikan santri-santri lebih berkarakter, mandiri dan bermartabat.
Sementara di awal kehadiran Ponpes Modern di tengah-tengah masyarkat nyaris kurang diterima. Terutama oleh kalangan yang dulunya sudah hadir di sana. Katanya pondok, kok ada sekolahnya. Katanya pondok, kok ada pramukanya. Katanya pondok, kok ada bahasa Inggrisnya. Maka munculah nada-nada miring terhadap kehadiran pondok. Dengan pendiriannya bahwa pondok “BERDIRI DI ATAS DAN UNTUK SEMUA GOLONGAN” – justru dengan ini semakin kokoh berdiri dan diakui di tengah-tengah masyarakat.
Dengan “Pendidikan dan Pengajaran” yang seimbang, lembaga ini semakin kokoh berdiri. Artinya pondok bukan sekedar memberikan ilmu kepada peserta didik tapi bagaimana ia mampu mendidik selama 24 jam. Ditambah dengan sistem mananjemen kolektif, pondok Modern ternyata berkembang pesat. proses regenerasi yang diciptakan tanpa harus memandang keturunan. Dan dilihat dari kualitas individu dengan tujuan bahwa pondok yang dibangun dari awal agar terus hadir dan hadir selama langit dan bumi masih ada. Makanya jangan heran kalau pondok Modern lebih terkenal nama pondoknya ketimbang pimpinannya.
Penulis bersekolah di pesantren dan mesantren di Sekolah Ponpes Modern DAAR EL KUTUB Bayah, dan sudah sedikit banyak ilmu umum dan ilmu Agama, didapatkan. Maka pengalaman ini dijadikan analisa dan evaluasi ke depan. Bahwa MASANTREN BARI NYAKOLA, NYAKOLA BARI MASANTREN, istilah pribahasa sunda. Paradigma ini saatnya dirubah menjadi “ ME-NYANTRI DI SEKOLAH, dan SEKOLAH DI PESANTREN…maka aku bilang PESANTRENKU adalah SEKOLAHKU dan SEKOLAHKU adalah PESANTRENKU.


Cipanas, 13 Juli 2015            

0 komentar:

Post a Comment