PESANTREN, SEKOLAHKU
Oleh: Najmudin Aljuhri
Pasca enam Tahun mengenyam pendidikan di Tingkat Dasar nampaknya
kedewasaan mulai berpikir. Hendak kemana Nak…engkau lanjutkan belajarmu? Dan
apa cita-citamu?
Tanya seorang Guru kepadaku menjelang detik-detik perpisahan. Aku mau mesantren dan Guru adalah cita-citaku, sahut aku. Do’a kami selalu menyertaimu, ucap sang Guru. Aamin…jawabku.
Tanya seorang Guru kepadaku menjelang detik-detik perpisahan. Aku mau mesantren dan Guru adalah cita-citaku, sahut aku. Do’a kami selalu menyertaimu, ucap sang Guru. Aamin…jawabku.
Bersama kawan dan diiringi do’a sang guru dan orang tua – berangkat
berjalan kaki walau harus menempuh 15 Kilometer menuju tempat yang dituju. Sebuah
pesantren salafy murni dalam niat yang dituju waktu itu. Namun ternyata cerita
berbeda. Perasaan aneh selalu menemani di awal menimba ilmu.
Tempat tidak begitu meyakinkan. Belajar di bawah pohon – pun gubug
tempat keseharian kami belajar. Berbeda dengan orang-orang di luar sana. yang mana
tempat begitu indah nan mewah; Kursi, meja dan fasilitas lain serba sempurna.
Haruskah aku bertahan di sini – di tempat yang dalam suasana yang seolah-olah tidak
meyakinkan!? Dalam benakku, bertanya. Nampaknya pertanyaan itu terawab seiring
dengan berjalan waktu.
Nyanyian doktrinisasi bukan sekedar dilantunkan dalam acara
seremonial belaka. Pondokku ternyata tempat aku bernaung. Semenjak kecil sampai
dewasa – engkau telah berjasa. Jasamu tidak bisa terucap dengan kata. Disiplin
shalat berjama’ah – Tiap pagi dan petang kami beramai shalat jama’ah, dituntun
oleh pimpinan. Sungguh membuat damainya bathin. Ternyat Kedisiplinan salahsatu
cara membentuk karakter seseorang. Sekiranya wajar jika dikutip sebuah
pribahasa “ Kebenaran Tanpa Disiplin Akan Terkalahkan Oleh Kebathilan Yang
Disiplin”.
Sebuah pondok yang ber-sistem-kan dan ber-metode-kan
modern ternyata mempunyai pengaruh tersendiri. Dianggap galak seorang pemimpin
– sering menjadi lelucon di para santrinya waktu itu “ Mudiirun Kal Asadi”,
Pemimpin bagaikan Singa. Nampaknya pribahasa ini dianggap Kafilah berlalu oleh sang Pimpinan.
Tapi ternyata hasilnya adalah mampu menjadikan santri-santri lebih berkarakter,
mandiri dan bermartabat.
Sementara di awal kehadiran Ponpes Modern di tengah-tengah
masyarkat nyaris kurang diterima. Terutama oleh kalangan yang dulunya sudah
hadir di sana. Katanya pondok, kok ada sekolahnya. Katanya pondok, kok ada
pramukanya. Katanya pondok, kok ada bahasa Inggrisnya. Maka munculah nada-nada
miring terhadap kehadiran pondok. Dengan pendiriannya bahwa pondok “BERDIRI DI
ATAS DAN UNTUK SEMUA GOLONGAN” – justru dengan ini semakin kokoh berdiri dan
diakui di tengah-tengah masyarakat.
Dengan “Pendidikan dan Pengajaran” yang seimbang, lembaga ini
semakin kokoh berdiri. Artinya pondok bukan sekedar memberikan ilmu kepada
peserta didik tapi bagaimana ia mampu mendidik selama 24 jam. Ditambah dengan
sistem mananjemen kolektif, pondok Modern ternyata berkembang pesat. proses
regenerasi yang diciptakan tanpa harus memandang keturunan. Dan dilihat dari
kualitas individu dengan tujuan bahwa pondok yang dibangun dari awal agar terus
hadir dan hadir selama langit dan bumi masih ada. Makanya jangan heran kalau
pondok Modern lebih terkenal nama pondoknya ketimbang pimpinannya.
Penulis bersekolah di pesantren dan mesantren di Sekolah Ponpes
Modern DAAR EL KUTUB Bayah, dan sudah sedikit banyak ilmu umum dan ilmu Agama,
didapatkan. Maka pengalaman ini dijadikan analisa dan evaluasi ke depan. Bahwa MASANTREN
BARI NYAKOLA, NYAKOLA BARI MASANTREN, istilah pribahasa sunda. Paradigma ini
saatnya dirubah menjadi “ ME-NYANTRI DI SEKOLAH, dan SEKOLAH DI PESANTREN…maka
aku bilang PESANTRENKU adalah SEKOLAHKU dan SEKOLAHKU adalah PESANTRENKU.
Cipanas, 13 Juli 2015
0 komentar:
Post a Comment