Monday, July 13, 2015

Kampungku adalah Kota Bagiku

KAMPUNGKU ADALAH KOTA BAGIKU
Oleh: Najmudin Aljuhri

Right Or Wrong Is My Country. “Baik atau Buruk Adalah Negaraku”. Pepatah ini bisa jadi merupakan doktrinasi kepada individu manusia untuk berpikir tentang akan cinta dirinya terhadap di mana ia bertempat tinggal.
Kalau kontek negara – di Negara mana seseorang berdiam, terhadap nagaranyalah ia harus cinta. Ketika seseorang tinggal di Negara Indonesia – maka bagaimanapun - baik dan buruk negeri Indonesia, maka dengan sendirinya dia akan bangga dengan negerinya. Apa dan bagaiamanapun negeri Jiran berkata – maka tetap negara Indonesia adalah negara yang terbaik.
Sama halnya dengan sebuah tempat yang saat ini masih teringat dan terbayang. Kp. Ciijeuw dan Nagajaya, Desa Sindangratu Kec. Panggarangan, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, mengingatkan akan masa masa lalu - seakan ingin kembali terulang. Namun entahlah?. Masa kecil yang ada hanyalah Indah, Senang dan tertawa. Indah mengingat lari-lari bersama kawan. Senang karena nampaknya rasa susah tidak pernah ada. Dan tertawa karena tidak pernah merasakan kesedihan. Gambaran kehidupan masa kecil ini – tidak akan jauh berbeda dengan bagaiamana ketika kita sudah dewasa saat ini melihat bocah-bocah bermain. Atau mungkin di waktu itu, kita tidak tahu makna rasa sedih dan makna rasa senang. Yang ada hanya tertawa dan menangis.
Tapi saat ini, kita merasakan benar makna sedih dan makna senang. Yang ini pasti sama persis dirasakan oleh orang tua kita, semasa kita kecil bahkan sampai saat ini. Apalagi kehidupan yang selalu bergantung kepada orang tua. Sampai kapan ini akan berakhir? Entahlah…       
Tempat kelahiran, tempat yang begitu jauh dari jantung kota. Tidak heran jika ada orang yang mengatakan “ ternyata di sini masih ada tempat yang disinggahi oleh manusia!. Pun “ tanah menembus awan, bisa jadi benar pula”. Benar mungkin adanya, karena ketinggian tanah yang begitu tinggi. Orang menyebutnya “Orang Gunung atau Orang Udik”. Jalan terjal dengan bebatuan dan pepohonan kelapa sawit menjadi konsumsi sehari-hari. Perbaikan jalan tidak membuat kami bangga. Dengan satu sampai dua tahun, jalan kembali memerah. Entah itu karena kontruksi yang tidak tahan lama atau mungkin air yang terlalu deras sehingga bisa mengalahkan kontruksi. Betonisasi jalanpun tidak dilakukan, karena mungkin anggaran yang tidak memungkinkan menurut para pemangku kebijakan. Yang padahal dari segi umur, penulis saat ini sudah mencapai 36 tahun. Sungguh memperihatinkan.
30 tahun silam, anak bocah (penulis) ini tidak pernah bertanya kepada dirinya. Akan jadi apa dan mau jadi apa? Atau maunya apa? Namun pendidikan selalu dikejarnya. Dengan jarak hampir 5 kilometer terus ditempuh selama enam tahun kendati harus berjalan kaki. Deras hujan, tanah memerah dan kaki tanpa alas tidak putus semangat untuk pergi ke sekolah. Tapi lagi-lagi tidak berpikir ingin jadi apa, terkesan tanpa cita-cita. Seolah-olah semua yang dilakukan selama 6 tahun tanpa rencana dan berkonsep. Hutan belantara disusuri menuju tempat belajar, dan tidak pernah membawa bekal kalau nantinya perlu makan dan minum ketika lapar dan haus. Makanan dan minuman serba mentah tapi tidak menjadikan penyakit akan tubuh. Kendati kadang kena amarah dari sang para guru karena itu bukan hak. Makanan dan minuman matang dari pedagang hanya diperuntukan bagi para pelajar siap bayar.
Seiring dengan perjalanan waktu, sarana dan prasarana pendidikan saat ini nampaknya mengalami signifikansi di tempat nan jauh dari jantung kota itu. Dari jarak berkilo, kini hanya dihitung langkah. Tinggal sejauhmana kemauan dan kesemangatan para orang tua dan anak untuk mengais ilmu yang sudah disediakan pemerintah.
Sementara ke tempat pendidikan lanjutan, kalau dulu harus menempuh 18 Kilometer dalam mengenyam pendidikan. Kali ini cukup dengan mengayunkan tangan dan melangkahkan kaki. Makanya wajar mungkin dikata, bisa dihitung dengan jari orang yang mengenyam pendidikan ke sekolah lanjutan pasca enam tahun mengenyam pendidikan. Sungguh bertindak bodoh bagi insan-insan setempat yang tidak mengantarkan anak-anaknya ke dunia pendidikan.
Potret dan bentuk di atas merupakan sedikit gambaran sebuah tempat yang tidak sering tersentuh oleh para inohong saat ini apalagi tempo dulu. Namun demikian, penulis tetap merasa bangga. “Baik atau buruk KAMPUNGKU adalah KOTAKU”.

Cipanas, 19 Juni 2015


0 komentar:

Post a Comment