KAMPUNGKU
ADALAH KOTA BAGIKU
Oleh:
Najmudin Aljuhri
Right Or Wrong Is My Country. “Baik atau Buruk Adalah Negaraku”. Pepatah ini bisa
jadi merupakan doktrinasi kepada individu manusia untuk berpikir tentang akan
cinta dirinya terhadap di mana ia bertempat tinggal.
Kalau kontek negara – di Negara mana seseorang berdiam, terhadap nagaranyalah ia harus cinta. Ketika seseorang tinggal di Negara Indonesia – maka bagaimanapun - baik dan buruk negeri Indonesia, maka dengan sendirinya dia akan bangga dengan negerinya. Apa dan bagaiamanapun negeri Jiran berkata – maka tetap negara Indonesia adalah negara yang terbaik.
Kalau kontek negara – di Negara mana seseorang berdiam, terhadap nagaranyalah ia harus cinta. Ketika seseorang tinggal di Negara Indonesia – maka bagaimanapun - baik dan buruk negeri Indonesia, maka dengan sendirinya dia akan bangga dengan negerinya. Apa dan bagaiamanapun negeri Jiran berkata – maka tetap negara Indonesia adalah negara yang terbaik.
Sama halnya dengan sebuah tempat yang saat ini masih teringat dan
terbayang. Kp. Ciijeuw dan Nagajaya, Desa Sindangratu Kec. Panggarangan,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, mengingatkan akan masa masa lalu - seakan
ingin kembali terulang. Namun entahlah?. Masa kecil yang ada hanyalah Indah,
Senang dan tertawa. Indah mengingat lari-lari bersama kawan. Senang karena
nampaknya rasa susah tidak pernah ada. Dan tertawa karena tidak pernah
merasakan kesedihan. Gambaran kehidupan masa kecil ini – tidak akan jauh
berbeda dengan bagaiamana ketika kita sudah dewasa saat ini melihat bocah-bocah
bermain. Atau mungkin di waktu itu, kita tidak tahu makna rasa sedih dan makna
rasa senang. Yang ada hanya tertawa dan menangis.
Tapi saat ini, kita merasakan benar makna sedih dan makna senang.
Yang ini pasti sama persis dirasakan oleh orang tua kita, semasa kita kecil
bahkan sampai saat ini. Apalagi kehidupan yang selalu bergantung kepada orang
tua. Sampai kapan ini akan berakhir? Entahlah…
Tempat kelahiran, tempat yang begitu jauh dari jantung kota. Tidak
heran jika ada orang yang mengatakan “ ternyata di sini masih ada tempat yang
disinggahi oleh manusia!. Pun “ tanah menembus awan, bisa jadi benar pula”. Benar
mungkin adanya, karena ketinggian tanah yang begitu tinggi. Orang menyebutnya
“Orang Gunung atau Orang Udik”. Jalan terjal dengan bebatuan dan pepohonan
kelapa sawit menjadi konsumsi sehari-hari. Perbaikan jalan tidak membuat kami
bangga. Dengan satu sampai dua tahun, jalan kembali memerah. Entah itu karena
kontruksi yang tidak tahan lama atau mungkin air yang terlalu deras sehingga
bisa mengalahkan kontruksi. Betonisasi jalanpun tidak dilakukan, karena mungkin
anggaran yang tidak memungkinkan menurut para pemangku kebijakan. Yang padahal
dari segi umur, penulis saat ini sudah mencapai 36 tahun. Sungguh
memperihatinkan.
30 tahun silam, anak bocah (penulis) ini tidak pernah bertanya
kepada dirinya. Akan jadi apa dan mau jadi apa? Atau maunya apa? Namun
pendidikan selalu dikejarnya. Dengan jarak hampir 5 kilometer terus ditempuh
selama enam tahun kendati harus berjalan kaki. Deras hujan, tanah memerah dan
kaki tanpa alas tidak putus semangat untuk pergi ke sekolah. Tapi lagi-lagi
tidak berpikir ingin jadi apa, terkesan tanpa cita-cita. Seolah-olah semua yang
dilakukan selama 6 tahun tanpa rencana dan berkonsep. Hutan belantara disusuri
menuju tempat belajar, dan tidak pernah membawa bekal kalau nantinya perlu
makan dan minum ketika lapar dan haus. Makanan dan minuman serba mentah tapi
tidak menjadikan penyakit akan tubuh. Kendati kadang kena amarah dari sang para
guru karena itu bukan hak. Makanan dan minuman matang dari pedagang hanya diperuntukan
bagi para pelajar siap bayar.
Seiring dengan perjalanan waktu, sarana dan prasarana pendidikan
saat ini nampaknya mengalami signifikansi di tempat nan jauh dari jantung kota
itu. Dari jarak berkilo, kini hanya dihitung langkah. Tinggal sejauhmana
kemauan dan kesemangatan para orang tua dan anak untuk mengais ilmu yang sudah
disediakan pemerintah.
Sementara ke tempat pendidikan lanjutan, kalau dulu harus menempuh
18 Kilometer dalam mengenyam pendidikan. Kali ini cukup dengan mengayunkan
tangan dan melangkahkan kaki. Makanya wajar mungkin dikata, bisa dihitung dengan
jari orang yang mengenyam pendidikan ke sekolah lanjutan pasca enam tahun
mengenyam pendidikan. Sungguh bertindak bodoh bagi insan-insan setempat yang
tidak mengantarkan anak-anaknya ke dunia pendidikan.
Potret dan bentuk di atas merupakan sedikit gambaran sebuah tempat yang
tidak sering tersentuh oleh para inohong saat ini apalagi tempo dulu. Namun
demikian, penulis tetap merasa bangga. “Baik atau buruk KAMPUNGKU adalah KOTAKU”.
Cipanas, 19 Juni 2015
0 komentar:
Post a Comment